Kamis, 12 Juli 2012

cerpen cinta Dari Wela Untuk Kara


Hampir dua jam. Aku duduk di bangku taman segi panjang yang hanya terbuat dari semen di samping pohon Akasia. Menunggu. Berharap seseorang yang ku puja itu datang menemuiku disini, seperti janjinya.
Udara kering mulai menggerogoti jalan, sementara kegelisahan mulai meyerangku. Aku harus mengambil nafas berulang kali agar aku bisa tenang dan mengambil kesejukan dari pohon Akasia.
Aku beranjak dari tempat duduk segi panjang. Lalu berjalan menuju kolam ikan. Airnya yang jernih memperlihatkan lumut-lumut hijau yang tumbuh di sisi dan dasar kolam. Hijau lumut-nya begitu cerah. Tampak lumut-lumut hijau itu sangat senang bisa hidup bersama dengan ikan-ikan mas. Ikan mas oranye mengatup-ngatupkan mulutnya dengan sangat lucu.
Langit sudah menjadi kuning keemasan. Dan hawa panas mulai mereda. Aku terduduk sendiri di ayunan merah. Mengayunkannya perlahan-lahan sambil memandang kosong ke arah kolam ikan di samping ayunan. Sampai kapan aku harus menunggu?
“Sangat berbahaya duduk sendiri di taman sepi seperti ini, Nona!” suara lembut dengan nada khawatir, menyadarkanku dari pandangan kosong. “Sekarang sedang maraknya penculikan, kau tahu?” tambahnya. Ia tersenyum bergurau.
Ia duduk di ayunan hijau di samping tempatku. Wajahnya cerah, hidung mencuat, alis tebal, dan binar matanya teduh. Rambut panjang sebahunya mengikuti irama ayunannya. Bergoyang-goyang ke depan ke belakang.
“Darimana kau tahu aku disini?” tanyaku. Ada secercah gairah di hatiku saat ia datang. Rasanya seperti menyelam ke air sejuk saat berada di siang hari yang kering kerontang.
“Entahlah. Mungkin hatiku yang memberitahu. Dan itu membuat kakiku sangat ingin kesini,” jawabnya. Kemudian, ia mengayunkan ayunannya lebih kencang. Rambutnya menari-nari tertiup angin.
Aku hanya bisa tersenyum mendengar jawabannya. Dan mengayunkan diri ke depan ke belakang perlahan-lahan. Aku tak semangat mengayun sama sekali.
“Pulanglah,” ia berkata. Wajahnya sudah berada di sampingku. Ayunannya sudah hampir berhenti. Aku hanya diam. Seluruh tubuhku menolak untuk beranjak dari tempat ini. Terutama hatiku yang masih ingin menunggunya. “Senja hampir habis. Pulanglah, Nona!” pintanya. Suaranya yang lembut itu membuat tubuhku tersadar. Pegal sekali sudah menunggu hampir tiga jam.
Aku memaksa tubuhku bangkit dari ayunan. Tetapi sulit sekali mengajak hatiku beranjak. Kemudian setelah menyadari hari hampir gelap dan taman ini sepi sekali, hatiku mau juga diajak pulang.
“Er … Happy Birth Day!” katanya. Ada keraguan dari nada suaranya. Tangan kanannya menyodorkan sekotak kado berlapis kertas merah marun dan pita emas.
“Hei, darimana kau tahu aku ulang tahun hari ini?” tanyaku sambil tersenyum kaget.
“Entahlah. Mungkin hatiku yang memberitahu,” jawabnya sambil terkekeh. Kemudian, ia berlalu. Berjalan dengan langkah yang dihentakkan walau pun hanya memakai sandal dan celana pendek putih biru.
::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::
Hari berikutnya. Malam dengan udara sejuk. Bintang-bintang berkelap-kelip genit di langit yang cerah. Malam yang sangat cerah. Banyak bintang-bintang bertebaran. Mereka membentuk sebuah konstelasi. Aku tidak tahu nama mereka, tapi aku tahu cara mengaguminya. Dan angin membawa serbuk-serbuk kebahagiaan pada diriku.
Ia berdiri di satu bukit yang menjulang tinggi. Tangannya terentang ke atas. Ia seolah menggenggam satu bintang paling terang untukku. Ia, pemuda berkacamata, menggenggam erat tanganku. Kemudian menarikku ke bukit itu. Mengajakku menggapai bintang-bintang di angkasa.
Pemandangan dari bukit sangat indah. Lampu-lampu jalan, lampu-lampu rumah, dan lampu-lampu kendaraan terlihat seperti titik-titik cahaya yang tersusun beraturan di gelap malam. Sementara, jutaan bintang di langit berusaha lebih menarik perhatianku. Saat aku menengadah ke mereka, bintang-bintang itu seolah tersenyum padaku dengan kedipannya.
Tapi, ada yang lebih menarik perhatianku lagi. Lebih dari jutaan bintang yang indah. Ia, pemuda berkacamata di sampingku. Wajahnya lebih cerah dari biasanya karena terpantul sinar bulan. Alis matanya tebal. Hidungnya mencuat ke depan. Dan yang paling indah adalah bola mata hitam kecokelatannya yang terbingkai kacamata. Bola mata hitam kecokelatannya yang berbinar tajam namun lembut.
“Maaf,” nada suara bass-nya mengutarakan penyesalan. Matanya memandang mataku dan aku menangkap ada ekspresi bersalah di dalamnya.
“Jangan sekarang,” kataku. “Jangan merusak malamku denganmu bersama bintang-bintang ini,” tambahku sambil tersenyum pada bintang-bintang di angkasa.
Aku menghirup nafas dalam-dalam. Udara malam yang sejuk segera memasuki ruang paru-paruku. Udara malam dengan wangi rumput dan air. Wangi alam favoritku setelah wangi hujan.
Aku menengadah. Tanganku terarah pada langit bertabur bintang. Jari telunjukku melukis wajahnya pada langit di atas sana. Imajinasiku hanya terpaut pada wajah seseorang yang sedang di sampingku kini. Indah. Wajahnya lebih indah dari bintang-bintang. Dan aku tersenyum setelah selesai melukisnya.
Aku berpaling dari imajinasi lukisanku ke wajahnya. Wajah cerah sempurna. Memandangi bola matanya, alis tebal, dan bibirnya yang melengkung manis. Sempurna. Hingga aku merasa bersyukur pada Tuhan karena menciptakan manusia seindah dirinya.
“Selamat ulang tahun, gadisku!” bibirnya bergerak mengucapkan kata-kata itu. Tangannya menyerahkan kotak hadiah berwarna hijau tua. Dan tanganku menerimanya.
“Terimakasih!” Aku tersenyum lebar. Kalung berbandul bintang kecil dengan taburan kerlap-kerlip berwarna perak di permukaan bandul bintangnya, tergeletak manis di dalam kotak. Ia mengambilnya kemudian memakaikannya di leherku. “Sangat indah!” kataku. Tangan kiriku memegang bandul bintang kecil itu.
“Maaf. Aku sangat minta maaf karena tidak menepati janji kemarin,” katanya. Nada suaranya sangat menyesal. “Aku terpaksa harus membantu temanku. Ibunya masuk rumah sakit karena kecelakaan. Aku terpaksa mengantarnya ke rumah sakit,” jelasnya.
“Oh ….” responku. Selanjutnya, malam berbintang yang awalnya indah menjadi agak pudar di dalam hatiku. Sementara, ia hanya diam saja memandangi bintang-bintang yang genit berkedap-kedip padanya.
Aku memain-mainkan kotak hadiah hijau tua di rumput-rumput samping tempatku duduk. Dan ada yang menarik perhatianku. Sebuah amplop merah muda tergeletak di samping tas selempang hitamnya. Sepertinya, amplop itu jatuh saat ia mengambil kotak hadiah hijau tua dari tasnya. Aku mengambil amplop itu diam-diam. Kemudian, tiba-tiba hatiku mulai panas. Mataku mulai berkaca-kaca setelah membaca tulisan di amplop itu.

Aku tak punya nyali …
Namun, kali ini aku bernyali tinggi
Tinggi, setinggi anganku bersamamu
Sedalam cintaku padamu.
::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::

Sudah sepuluh kali aku membaca tulisan itu. Tulisan di dalam amplop merah muda yang ku temukan di samping tas Kara. Berkali-kali aku membaca kata-kata cinta itu, berkali-kali juga hatiku terasa panas. Seperti ada beban yang menyesakkan hatiku.
Mataku mulai panas, hingga tak sanggup untuk tidak berkaca-kaca. Aku mengayunkan ayunanku tinggi-tinggi. Aku berharap angin dapat meredakan panas hatiku dan air mataku yang sudah menggenang tidak tumpah. Semakin tinggi aku mengayun, semakin bertambah air mataku. Hingga genangan air yang berkaca-kaca itu tumpah dan tak sanggup ku tahan mengaliri pipi kanan- kiriku.
Telpon genggam di saku jeans-ku bergetar. Aku menghentikan ayunanku dan mengambil telpon genggamku. Di layar monitornya tertulis ‘Kara memanggil’, namun aku memasukkan lagi telpon genggamku ke saku jeans. Aku membiarkan telpon genggamku meraung-raung dengan getarannya di celana jeans-ku.
“Bukankah sudah ku katakan berbahaya jika sendirian di taman sepi seperti ini?” suara yang lembut itu terdengar. Suaranya bersumber dari seseorang di sampingku.
“Miko!” kataku. Pemuda berambut sebahu itu duduk di ayunan hijau. Wajahnya terlihat cerah dan rambut di sisi-sisi wajahnya melambai-lambai tertiup angin sore. Wajahnya berubah khawatir setelah tahu air mata membanjiri pipiku.
“Kenapa menangis?” tanyanya. Suaranya sangat prihatin.
Aku hanya diam saja. Merenung sendiri. Mataku hanya menatap sebuah tulisan yang tergeletak di rumput-rumput di bawah ayunanku. Mulutku sulit bergerak. Dan lidahku terasa kelu untuk berkata.
Pemuda berambut panjang sebahu itu menarik titik pandanganku. Ia menemukan apa yang ku pandangi. Ia mengambilnya, kemudian membacanya. Ia menarik nafas setelah membacanya. Dan ia hanya diam sejenak, tak berkata-kata.
“Kau tak berpikir, kekasihmu akan mengkhianatimu, kan?” tanyanya. Matanya memandang dalam ke arah mataku. Aku bisa melihat, ternyata bulu matanya lentik dan bola matanya berwarna cokelat muda.
Aku hanya menggeleng. Kata ‘mengkhianati’ itu sungguh membuatku tak berdaya. Air mataku merembes dari ekor mataku.
“Aku yakin kekasihmu bukan tipe orang seperti itu. Jadi, mintalah penjelasannya terlebih dulu,” katanya. Pandangannya masih mengarah padaku. Aku tidak bisa berkata apa-apa. Hanya isakan yang terputus-putus yang bisa aku suarakan. Air mataku masih merembes keluar. “Jangan menangis lagi!” ia berkata lembut. Jari-jari tangannya menghampiri pipiku. Dan ibu jari kanannya menghapus titik air di ekor mataku.
“Jadi, ini alasan mengapa kamu tak menjawab telepon dariku, Karli?” suara bass namun lembut itu mengagetkanku. Raut wajahnya kecewa. Dan matanya mengekspresikan kesedihan. Miko menarik jari-jarinya dari mataku, kemudian ia bangkit dari ayunannya. Ia berdiri berhadapan dengan pemuda berkacamata.
Kara dan Miko saling berhadapan. Mata mereka saling bertabrakkan. Bola mata hitam kecokelatan Kara menghunus tajam mata Miko. Mereka diam. Tidak saling bicara, namun ekspresi wajah mereka berbicara satu sama lain.
“Karli memang milikmu. Tapi, tak akan ku biarkan kau membuatnya menangis!” Miko berkata. Nada suaranya tegas. Lalu, tangannya menyerahkan tulisan beramplop merah muda itu pada Kara.
Wajah Kara tampak keheranan memandangi amplop merah muda itu. Ia tampak seperti belum pernah melihat amplop merah muda itu sebelumnya. “Apa maksudnya ini?” ia bertanya heran setelah membaca tulisan itu. “Karli, aku benar-benar tidak mengerti,” katanya.
“Jangan pura-pura tidak mengerti!” aku berkata. “Itu alasan kamu mengapa tak datang kemarin ke taman ini, kan?” aku bertanya. Air mataku merembes lagi. “Kamu pergi dengan gadis itu sementara aku menunggumu disini selama tiga jam!” air mataku semakin deras.
“Karli, dengarkan penjelasanku dulu,” pinta Kara.
“Semuanya sudah jelas. Aku mau pulang!” Kakiku melangkah ke jalan setapak. Sementara, air mataku tak berhenti mengalir.
“Karli!” panggil suara lembut pemuda berambut panjang sebahu itu.
“Jangan ada yang mengikutiku!” aku berkata, menoleh pada keduanya. Lalu, aku berjalan mantap walau hati sangat kacau, meninggalkan keduanya yang hanya mampu memandangi kepergianku dari taman yang sepi ini.
::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::

Udara malam sangat dingin kali ini. Langit tidak secerah kemarin. Bintang-bintang bersembunyi di balik awan-awan hitam. Mereka tampaknya tak ingin menyaksikanku termenung sedih. Dan udara dingin yang menggerogoti kulitku semakin membuatku merinding sedih. Tak ada satupun cahaya di langit. Bulanpun tak mau menampakkan dirinya. Mungkin ia diajak para bintang bersembunyi di balik awan. Mereka mungkin kecewa karena aku sedang bersedih malam ini.
Telepon genggamku tak henti-hentinya meraung dari setengah jam tadi. Aku tidak mempedulikannya. Lalu beberapa kemudian setelah getaran telepon genggamku mereda, ada sebuah pesan masuk di layar monitornya.

Aku tunggu kamu di Bukit Bintang.
Kara.

Suara ketukan pintu kamar mengagetkanku. “Karli, ada temanmu di luar sana,” suara lembut ibu mengalun melewati celah-celah pintu. Aku langsung mengusap wajahku, kemudian bangkit dari dudukku di samping jendela menuju teras rumah.
Pemuda dengan rambut sebahunya itu berdiri di depan pintu. Wajahnya masih terlihat cerah. Ia memakai mantel tebal berwarna merah marun. Dan di rambut panjangnya terdapat titik-titik air. Malam telah hujan rupanya.
“Maaf. Tapi aku sama sekali tak ingin diganggu!” aku berkata mengalihkan matanya yang berbinar teduh.
“Aku juga minta maaf karena terpaksa harus mengganggumu, Karli!” ia menarikku ke teras rumah. Di teras itu, aku menemukan gadis berambut panjang selengan dengan poni rata menutupi dahinya. Raut wajahnya nampak bersalah dan ada ketakutan dari bola matanya.
“Ma-maafkan saya, Ka!” katanya. Nada suaranya bergetar. Wajahnya langsung menunduk. “Saya Wella,” ia berkata. Mendengar nama itu, hatiku tersentak bukan main. Ada sesuatu yang menyesakkan hatiku. “Kemarin lusa memang benar saya meminta bantuan Kak Kara untuk mengantar saya ke rumah sakit karena ibu saya kecelakaan,” jelasnya. Wajahnya masih ketakutan. “Dan soal amplop merah muda itu,” ia berhenti. Ia sejenak mengambil nafas. “Saya menaruhnya diam-diam di tas Kak Kara,” lanjutnya. “Maaf, saya tidak tahu kalau Kak Kara sudah punya kekasih,” tambahnya. Gadis berponi rata itu hanya mengangguk. “Saya sangat menyesal. Saya minta maaf!” katanya sambil menunduk padaku.
Pandanganku hanya tertuju pada hujan yang kini semakin deras di luar sana. Kara menungguku di bukit bintang. Bukit di malam penuh bintang waktu itu. Apakah ia masih menungguku disana hujan deras begini? Aku melangkahkan kakiku menuju gerbang rumah. Namun, tangan pemuda berambut panjang itu menahan bahuku. Raut wajahnya melarangku untuk pergi.
“Kara menungguku,” aku berkata. “Aku tidak bisa membiarkannya menunggu di tengah hujan deras begini.” Aku menghempaskan tangannya dari bahuku. Kemudian aku langsung menghantam hujan.
Titik-titik air dengan kasar menerpa kepalaku. Air hujan menyerap ke dalam pakaianku. Rambut ikalku basah. Dan angin yang berhembus cukup kencang membuatku harus menahan dingin. Aku tidak peduli dengan itu semua. Aku hanya memaksa kakiku untuk berlari dan terus berlari menuju bukit bintang yang tak seberapa jauh dari rumahku.
Rasa bersalah segera mengoyak hatiku selama di perjalanan. Guntur pun bersahut-sahutan seakan meng-iya-kan kalau aku sungguh telah berbuat salah. Namun, aku berusaha mengalihkan semuanya dan hanya memaksakan kakiku untuk berlari menaiki bukit-bukit kecil. Aku hampir sampai di bukit yang cukup menjulang tinggi.
Dan disanalah ia. Pemuda berkacamata berdiri tegap di bukit yang cukup menjulang tinggi. Ia berdiri tegar walau hujan menghantam wajahnya, walau hujan membasahi kacamata dan pakaiannya.
“Karli,” sapanya. Bibirnya bergetar. Kedinginan. Namun, bibirnya melengkung membentuk senyuman yang indah. Aku langsung berlari dan memeluk tubuhnya. Tubuhnya dingin dan bergetar.
“Aku ingin jelaskan padamu kalau …”
“Tak perlu ada penjelasan lagi,” aku memotong kalimatnya. Lengan tanganku melingkari erat pinggangnya. “Aku yang harus minta maaf,” kataku. Air mataku bercampur dengan titik-titik air yang masih jatuh dari langit. “Aku minta maaf membuatmu begini,” tambahku. Kara memeluk tubuhku lebih erat lagi hingga aku nyaris tak bisa bernafas. Kemudian ia meregangkan pelukannya. Kedua tangannya menyentuh pipiku yang basah. Dan bibirnya yang dingin menyentuh keningku.
Sesaat ketika aku membuka mata. Aku menemukan pemuda berambut panjang sebahu berdiri di tanjakan bukit. Rambut panjang, dan wajahnya basah. Raut wajahnya terlihat kecewa. Ia menunduk lesu. Dan ia memandangku dengan seulas senyum tipis di bibirnya sesaat sebelum ia berbalik dan berjalan meninggalkan ku dan pemuda berkacamata yang memelukku di tengah hujan.

:::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::
Aku terduduk di ayunan berwana hijau. Mengayunnya perlahan-lahan sambil mengamati dua kotak yang ada di kedua tanganku. Di tangan kiri, kotak berwarna merah marun. Dan di tangan kanan, kotak berwarna hijau tua. Kotak-kotak hadiah pemberian dua pemuda itu. Kotak-kotak hadiah dengan dua warna yang ku suka. Hijau tua dan merah marun.
Di pergelangan tangan kiriku terlingkar sebuah gelang dengan bandul-bandul kecil berbentuk hati berwarna perak. Dan sebuah kalung dengan bandul bintang kecil bertabur kerlap-kerlip perak melingkari leherku. Aku tidak boleh memakai dua-duanya. Aku harus memilih salah satunya.
“Ini ketiga kalinya aku memperingatkan sangat berbahaya sendirian di taman sepi seperti ini.” Sebuah suara yang lembut terdengar. Rambut panjang pemuda itu dikuncir setengah. Rambut bagian bawahnya dibiarkan tergerai indah.
Aku hanya diam saja. Tak ku gubris pernyataannya itu. Pandanganku hanya tertuju pada dua kotak yang ada di tanganku. Sulit sekali di keadaan seperti ini. Memilih salah satunya akan menyebabkan yang lainnya tersakiti.
“Manusia memang serakah, bukan?” tanyaku. Pandanganku masih tertuju pada dua kotak itu.
“Manusia tak boleh serakah. Itulah mengapa Tuhan menciptakan hati, agar manusia bisa memilih sesuai kata hatinya.” Pemuda berambut panjang itu berkata bijak. Pandangannya lurus menyelami kolam ikan di samping ayunan merah.
Entah mengapa setiap kata yang diucapkannya membuatku segera tersadar dari kebimbangan. Ia seperti udara sejuk yang menentramkan hati dikala ku sedang gundah. Begitulah ia, pemuda berambut panjang sebahu.
“Aku akan mundur!” suara lembutnya terdengar lantang dan meyakinkan. Wajahnya menunduk. Bulu matanya yang lentik bergerak-gerak selagi matanya memandang rerumputan hijau di bawah ayunannya. Perkataannya itu membuatku menoleh padanya. Aku tidak mengerti maksudnya, tetapi perkataannya itu membuatku sedih.
“Aku tidak akan mengganggumu lagi,” katanya. Matanya yang teduh memandang bola mataku.
Tiba-tiba saja bayangan pemuda berkacamata muncul di benakku. Bola mata hitam kecokelatan yang indah. Bola mata yang sangat aku sukai. Wajah cerahnya. Hidung dan kacamatanya. Entah mengapa, aku ingin pemuda berkacamata itu ada di sini sekarang.
“Baiklah,” jawabku. Sejenak aku harus mengambil nafas. “Aku toh tidak bisa memberimu apa-apa.” Pandanganku menyapu pohon-pohon kecil di tepi jalan. “Jangan pernah berharap lagi padaku,” tambahku.
Ia mengangguk. Anggukannya dalam sekali dan lemah. Kemudian ia bangkit dari ayunan hijau. Berjalan perlahan menyusuri jalan setapak di samping taman. Aku merekam dalam-dalam sosoknya yang pergi meninggalkanku. Setiap langkah kakinya dihentakkan. Setiap langkah seperti tertarik gravitasi bumi begitu kuat. Langkahnya yang khas itu membuat sisa rambut panjang bawahnya menari-nari mengikuti irama langkahnya.




Dari : Wella
Untuk : Kara
::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::

Minggu, 10 Juni 2012

Merataplah Anak Negeri




(Untukmu yang masih memiliki NURANI….?????)


Aku berdiri menatap indahnya persada
Di sana gugusan nusa terbentang
Berhiaskan padang rimba, jurang dan ngarai
Ada pepohonan yang menjulang tinggi beralaskan permadani
Di antara liukan sawah yang menghijau
Serta aneka satwa yang menambah indahnya negeriku….
Di dalam rahimmu terpendam harta berlimpah….Kebanggaan anak bangsa
Sang pertiwi yang dulu permai penuh nirmala…
Kini perlahan mulai beranjak pergi….menggoreskan luka …meninggalkan jejak yang rapuh..
Tangan-tangan jahil tanpa nurani merenggut nirmalamu
Mengeruk dan mengorek rahim sang pertiwi…Tanpa ada rasa salah
Yaahhhhh…..semuanya karena nurani telah buta oleh sekeping uang
Harta semu yang membelenggu jiwa hingga manusia kian serakah…..
Lirikan mata penuh nafsupun masih mengembara di sudut-sudut pertiwi
Menerawang dan meneropong setiap onggokan yang beharga
Lantas memporakporandakan segala yang ada
Tak peduli pada suara-suara kecil yang menjerit dan merintih mempertahankan persada
Dengan gada besi segalanya menjadi sangat mudah
Bahkan jika nyawa adalah taruhan maka semua yang menghalangi akan termusnahkan….
Sebagian anak bangsa di negeri ini telah dimabukkan oleh kesenangan sesaat
Mereka tertawa di atas puing-puing kehancuran pertiwi
Tertawa di atas linangan air mata masyarakat kecil dan tertindas….
Wahai….anak negeriku merataplah……merataplah….merataplah…..
Merataplah  bersama ibu pertiwi yang kini terluka….
Merataplah terhadap setiap tirani yang membelenggu jiwa
Merataplah terhadap setiap kekerasan yang terbalut dalam topeng kemanisan….
Merataplah atas keadilan yang telah pergi menjauh darimu….
Dan wahai kau manusia serakah……
Segala yang ada takkan kau bawa  ke liang kubur….
Ketika maut menjemputmu….hanya sepotong kain yang membalut ragamu yang fana….

Sabtu, 09 Juni 2012

Surat Untuk Calon Menantu Ku


Menyelami rasa yg d miliki seorang ibu dr putra yg sgt di cintainya..
Yuuk.. Kita menyimak hatinya..

----------***----------

Duhai gadis, yg baru ku kenal.
Tahukah kau, dia putra ku, lahir dr rahim suciku, kupertaruhkan hidupku u memilikinya, anak kesayanganku yg sepanjang hidupx ku besarkan dgn segenap rasa cintaku..
Tangan renta ini yg mengankat tubuh mungil nya, menyuapinya, menyeka air matax, dan memelukx dlm dekapanku..

Duhai gadis, tahukah kau betapa besar rasa cintaku padanya? Bahkan aku tak mampu membayangkan bila ada yg merebutnya dr dekapku..


Tahukah kau gadis? Betapa bangga ku rasakan ketika dia mulai beranjak dewasa? Menatapx tumbuh mjadi laki2 tegap dan tampan.. Seulas senyumx mengingatxku pd senyuman ayahx yg sgt ku cinta..

Betapa hati ini terus diliputi rasa bangga dan buncahan cinta padanya.. Kebangganku.. Putraku..

Berbagai prestasi dia ukir dan memahatx bangga tak terperi dalam lubang rasaku.. Dan ku slalu mrasa puas menyebutnya putraku..
Tak sdktpun dia prnh mengecewakanku.. Tak pernah..

Gadis, tahukah kau, betapa haru hatiku, ketika ku melihat perubahanx, mencoba mengenal Diennya lebih dalam dr yg kami ajarkan padanya.. Dia menjadi laki2 sejati, laki2 yg dirindukan syurga.. Aku smakin sayang padanya. Putraku, kini yg malah mengajarkanku bnyk hal.. Mendakatxku padaNya, pada Rabbku yg slama ini ku kenal dg sederhana krn kebodohanku. Tp ku tak malu, mamun sebaliknya, aku smakin bangga pdnya.. Putraku, cahayaku..

Namun, smua rasa itu berubah mjadi takut, cemas dan khawatir..
Ketika dia mnyampaikan pdku keinginannya. Dia ingin menyempurnakan agamanya..
Yah.. Dia ingin membngun rumah tangganya sendiri..
Dan, dia telah memilih, kaulah gadis beruntung itu..

Gadis, tahukah kau? Betapa cemburuku padamu? Yah, aku sgt takut kehilangan putra kesayanganku. Takut kau merebut smua perhatiannya dariku. Takut kbradaanmu, memalingkanx dariku.. Kau akan merebutx, dan aku cemburu..

Namun, kmbli ku sadari, putraku tak akan memilih wanita sembarang.. Ku yakin kau punya kelebihan yg membuatx memilihmu, dan ku mulai menata hatiku..

Duhai gadis pilihan putraku..
Ku harap kau memiliki tangan yg lbh lembut dariku, krn ku tak mau kau melukai putraku..
Ku harap kau mpunyai senyum yg lebih sejuk dariku.. Krena kelak, dia akan dtg padamu dalam tiap galaunya, u mencari ketenangan..
Ku harap, kau memiliki pelukan yg lbh hangat dariku.. Krn ku ingin hatinya selalu damai dlm dekapanmu..
Ku harap, kau mempunyai tutur kata yg seindah embun, krn ku tak ingin dia mendengar kata2 kasar dlm hidupnya..

Duhai gadis pilihan putraku.. Jadilah anakku.. Agar tak pernah ku mrasa kehilangan putraku krn kehadiranmu..
Jadilah sahabatku.. Agar kau dpt mencurahx rasamu padakku kelak..
Jadilah rekanku.. Agar bersama2 qt membahagiakan laki2 yg sama2 qt cintai..

Untukmu gadis pilihan putraku.. Selamat datang d istana kami.. Penuhilah dgn cinta dan kasih.. Semoga kau bahagia mjadi bagian dari kami..

Padamu gadis pilihan putraku.. Akupun akan mencintaimu..



Wanita Sholeha


SUNGGUH sangat beruntung bagi wanita shalihah di dunia ini. Ia akan menjadi cahaya bagi keluarganya dan berperan melahirkan generasi dambaan. Kalau pun ia wafat, maka Allah akan menjadikannya bidadari di akhirat nanti. Oleh karena itu, para pemuda jangan sampai salah memilih pasangan hidup. Pilihlah wanita shalihah untuk dijadikan istri dan pendamping hidup setia.
Siti Khadijah r.a. adalah figur seorang istri shalihah yang menjadi penenang batin, pendukung setia, dan penguat semangat suami dalam berjuang dan beribadah kepada Allah SWT. Beliau telah berkorban dengan harta, kedudukan, dan diri beliau demi membela perjuangan Rasulullah Saw. Begitu kuatnya kesan keshalihahan Khadijah r.a., hingga nama beliau banyak disebut-sebut oleh Rasul walau beliau sendiri sudah meninggal.
Allah berfirman dalam QS. An Nuur ayat 30-31, Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara farji (kemaluan) – nya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara farji- nya dan janganlah mereka menampakkan perhiasan kecuali yang biasa nampak dari padanya.
Rasulullah Saw. bersabda : Dunia ini adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita shalihah. (HR. Muslim).
        Ciri khas seorang wanita shalihah adalah ia mampu menjaga pandangannya. Ciri lainnya, dia senantiasa taat kepada Allah dan Rasul Nya. Make up- nya adalah basuhan air wudhu. Lipstiknya adalah memperbanyak dzikir kepada Allah di mana pun berada. Celak matanya adalah memperbanyak bacaan Al Quran. Jika seorang muslimah menghiasi dirinya dengan perilaku takwa, akan terpancar cahaya keshalihahan dari dirinya.
    Wanita shalihah tidak mau kekayaan termahalnya berupa iman akan rontok. Dia juga sangat memperhatikan kualitas kata-katanya. Tidak ada dalam sejarahnya seorang wanita shalihah centil, suka jingkrak-jingkrak, dan menjerit-jerit saat mendapatkan sesuatu kesenangan. Ia akan sangat menjaga setiap tutur katanya agar bernilai bagaikan untaian intan yang penuh makna dan bermutu tinggi. Dia sadar betul bahwa kemuliaannya justru bersumber dari kemampuannya menjaga diri (iffah).
Wanita shalihah itu murah senyum, karena senyum sendiri adalah shadaqah. Namun, tentu saja senyumnya proporsional. Tidak setiap laki-laki yang dijumpainya diberikan senyuman manis. Intinya, senyumnya adalah senyum ibadah yang ikhlas dan tidak menimbulkan fitnah bagi orang lain. Bisa dibayangkan jika kaum wanita kerja keras berlatih senyum manis semata untuk meluluhkan hati laki-laki.
        Wanita shalihah juga harus pintar dalam bergaul dengan siapapun. Dengan pergaulan itu ilmunya akan terus bertambah, sebab ia akan selalu mengambil hikmah dari orang-orang yang ia temui. Kedekatannya kepada Allah semakin baik sehingga hal itu berbuah kebaikan bagi dirinya maupun orang lain. Pendek kata, hubungan kemanusiaan dan taqarrub kepada Allah dilakukan dengan sebaik mungkin.
Ia juga selalu menjaga akhlaknya. Salah satu ciri bahwa imannya kuat adalah dari kemampuannya memelihara rasa malu. Dengan adanya rasa malu, segala tutur kata dan tindak tanduknya akan selalu terkontrol. Tidak akan ia berbuat sesuatu yang menyimpang dari bimbingan Al Quran dan As Sunnah. Dan tentu saja godaan setan bagi dirinya akan sangat kuat. Jika ia tidak mampu melawan godaan tersebut, maka bisa jadi kualitas imannya berkurang. Semakin kurang iman seseorang, maka makin kurang rasa malunya. Semakin kurang rasa malunya, maka makin buruk kualitas akhlaknya.
        Pada prinsipnya, wanita shalihah itu adalah wanita yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Rambu-rambu kemuliaannya bukan dari beraneka aksesoris yang ia gunakan. Justru ia selalu menjaga kecantikan dirinya agar tidak menjadi fitnah bagi orang lain. Kecantikan satu saat bisa jadi anugerah yang bernilai . Tapi jika tidak hati-hati, kecantikan bisa jadi sumber masalah yang akan menyulitkan pemiliknya sendiri.
Saat mendapat keterbatasan fisik pada dirinya, wanita shalihah tidak akan pernah merasa kecewa dan sakit hati. Ia yakin bahwa kekecewaan adalah bagian dari sikap kufur nikmat. Dia tidak akan merasa minder dengan keterbatasannya. Pribadinya begitu indah sehingga make up apa pun yang dipakainya akan memancarkan cahaya kemuliaan. Bahkan, kalaupun ia polos tanpa make up sedikit pun, kecantikan jiwanya akan tetap terpancar dan menyejukan hati tiap-tiap orang di sekitarnya. Karena ia yakin betul bahwa Allah tidak akan pernah meleset memberikan karunia kepada hamba-Nya. Makin ia menjaga kehormatan diri dan keluarganya, maka Allah akan memberikan karunia terbaik baginya di dunia dan di akhirat.
       Jika ingin menjadi wanita shalihah, maka banyak-banyaklah belajar dari lingkungan sekitar dan orang-orang yang kita temui. Ambil ilmunya dari mereka. Bahkan kita bisa mencontoh istri-istri Rasulullah Saw. Seperti Siti Aisyah yang terkenal dengan kecerdasannya dalam berbagai bidang ilmu. Ia terkenal dengan kekuatan pikirannya. Seorang istri seperti beliau adalah seorang istri yang bisa dijadikan gudang ilmu bagi suami dan anak-anak.
       Bisa jadi wanita shalihah itu muncul dari sebab keturunan. Bila kita melihat seorang pelajar yang baik akhlaknya dan tutur katanya senantiasa sopan, maka dalam bayangan kita tergambar diri seorang ibu yang telah mendidik dan membimbing anaknya menjadi manusia yang berakhlak. Sulit membayangkan, seorang wanita shalihah ujug-ujug muncul tanpa didahului sebuah proses yang memakan waktu. Disini faktor keturunan memainkan peran. Begitu pun dengan pola pendidikan, lingkungan, keteladanan dan lain-lain. Apa yang nampak, bisa menjadi gambaran bagi sesuatu yang tersembunyi.
      Banyak wanita bisa sukses. Namun tidak semua bisa shalihah. Shalihah atau tidaknya seorang wanita bergantung ketaatannya pada aturan-aturan yang Allah pimpinkan. Dan aturan-aturan tersebut berlaku universal, bukan saja berlaku bagi wanita yang sudah menikah, tapi juga bagi remaja putri yang berumah tangga. Tidak akan rugi jika seorang remaja putri menjaga sikapnya saat mereka berinteraksi dengan lawan jenis yang bukan mahramnya. Bertemanlah dengan orang-orang yang akan menambah kualitas ilmu, amal dan ibadah kita. Ada sebuah ungkapan mengatakan, Jika kita ingin mengenal pribadi seseorang maka lihatlah teman-teman di sekelilingnya. Usahakanlah kita mampu memberikan warna yang baik bagi orang lain, bukan sebaliknya malah kita yang diwarnai oleh pengaruh buruk orang lain.
Jika para wanita muda mampu menjaga diri dan memelihara akhlaknya, maka iman kaum laki-laki akan semakin kuat. Cahaya keshalihahan wanita mukminah akan menjadi penyejuk sekaligus peneguh hati orang-orang beriman. Apalagi bagi kaum muda yang sangat rentan dari godaan syahwat. Mereka harus dibantu dalam melawan godaan-godaan.
      Peran wanita shalihah sangat besar dalam keluarga dan bahkan negara. Kita pernah mendengar, bahwa di belakang seorang pemimpin yang sukses ada seorang wanita yang sangat hebat. Jika wanita shalihah ada di belakang para lelaki di dunia ini, maka bisa dibayangkan, berapa banyak kesuksesan yang akan diraih. Selama ini wanita hanya ditempatkan sebagai pelengkap saja, yaitu hanya mendukung dari belakang, tanpa peran tertentu yang serius. Dalam sebuah keterangan diyatakan bahwa bejatnya akhlak wanita bisa menyebabkan hancurnya sebuah negara. Bukankah wanita itu adalah negara? Bayangkanlah, jika tiang-tiang penopang bangunan itu rapuh, maka sudah pasti bangunannya akan roboh dan rata dengan tanah, sehingga tidak akan ada lagi yang tersisa kecuali puing-puing yang nilainya tidak seberapa.
      Jadi kita tinggal memilih, apakah akan menjadi tiang yang kuat atau tiang yang rapuh? Jika ingin menjadi tiang yang kuat, kaum wanita harus terus berusaha menjadi wanita shalihah dengan mencontoh pribadi istri-istri Rasulullah. Dengan terus berusaha menjaga kehormatan diri dan keluarga serta memelihara farji-nya, maka pesona wanita shalihah akan melekat pada diri kaum wanita kita.

Renungan Bagi Wanita


Allah telah memberikan potensi-potensi bagi manusia,, apa-apa saja itu??
1. Akal
2. Jasad
3. Ruh
ketiga-tiga dari setiap potensi itu membutuhkan suplemen... dan ketiga potensi itu haruslah berjalan dengan beriringan dan tawazun (seimbang).
Nah, mau tau lebih lanjut kan?? di sini akan dibahas satu persatu tentang keistimewaan tersebut dan bagaimana cara mensyukurinya,,

1. Akal
Potensi inilah yang sangat membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya yang diciptakan Allah. selain manusia tidak ada makhluk lain yang mempunyai akal layaknya binatang, tumbuhan, malaikat, setan, iblis, dan makhluk Allah lainnya. lalu bagaimana cara kita mensyukuri potensi ini (potensi yang telah diberikan Allah) ?? tentu dan pastinya dengan cara banyak belajar atau menuntut ilmu. seperti hadis Rasulullah, tuntutlah ilmu dari ayunan sampai liang lahat. manusia adalah makhluk yang bersifat dinamis. dengan akal inilah terciptanya ilmu-ilmu dan teknologi seperti sekarang ini...

2. Jasad
Potensi ini juga sangat membedakan manusia dengan makhluk yang lain, Allah telah menciptakan manusia dengan sebaik-baik bentuk seperti dalam surat At-Tiin ayat 4,, adapun cara kita bersyukur karena telah mendapatkan potensi ini dari Allah adalah dengan menjaga jasad kita ini. jika tiba waktu makan, maka makanlah. jika waktu tidur, maka berikanlah jasad kita ini untuk beristirahat sebentar. jangan karena sibuk memenuhi potensi akal kita lupa memenuhi kebutuhan jasad kita..
3. Rohani
Potensi ini juga sangat membuat manusia istimewa. bagaimana memenuhi kebutuhan ini?? gampang saja jawabannya, diantara lain, seringnya mengikuti majelis2 yang didalamnya dibacakan ayat-ayat Allah, berkumpul dengan orang-orang saleh, dan yang paling penting adalah berdzikir.

apabila ketiga potensi ini telah seimbang, maka tak ada hal yang tak mungkin tak bisa dilakukan oleh muslim dan muslimah. menjadi seorang muslimah, bukan berarti semua hal dibatasi. MUSLIMAH JUGA PUNYA POTENSI UNTUK MENGEMBANGKAN DIRI, HANYA MEREKA YANG BERPIKIRAN SEMPIT YANG BERFIKIR BAHWA MENJADI MUSLIMAH ADALAH BEBAN KARENA DALAM PIKIRANNYA MUSLIMAH  ITU HANYA DUDUK  DIAM DI RUMAH... menjadi muslimah bukan berarti semua hal terbatas, meski ada beberapa batasan2 syar'i yang memang harus dijaga oleh muslimah. namun, muslimah tetap bisa beraktivitas .
sebagai muslimah tidak ada batasan untuk mengembangkan potensi-potensi yang telah tersebutkan seperti di atas,,



KAWAN (KAjian WANita)
Senin, 25 April 2011, Pemateri : Kak Uzi Mardha Phoenna
Balai Insan Kamil
By. Keputrian HIMAFI

Kamis, 31 Mei 2012

SELAMAT TINGGAL



Andre dan Sherly adalah sepasang kekasih yang serasi walaupun keduanya berasal dari keluarga yang jauh berbeda latar belakangnya. Keluarga Sherly berasal dari keluarga kaya raya dan serba berkecukupan, sedangkan keluarga Andre hanyalah keluarga seorang petani miskin yang menggantungkan kehidupannya pada tanah sewaan.
Dalam kehidupan mereka berdua, Andre sangat mencintai Sherly. Andre telah melipat 1000 buah burung kertas untuk Sherly dan Sherly kemudian menggantungkan burung-burung kertas tersebut pada kamarnya. Dalam tiap burung kertas tersebut Andre telah menuliskan harapannya kepada Sherly. Banyak sekali harapan yang telah Andre ungkapkan kepada Sherly. “Semoga kita selalu saling mengasihi satu sama lain”,”Semoga Tuhan melindungi Sherly dari bahaya”,”Semoga kita mendapatkan kehidupan yang bahagia”,dsb. Semua harapan itu telah disimbolkan dalam burung kertas yang diberikan kepada Sherly.
Suatu hari Andre melipat burung kertasnya yang ke 1001. Burung itu dilipat dengan kertas transparan sehingga kelihatan sangat berbeda dengan burung-burung kertas yang lain. Ketika memberikan burung kertas ini, Andre berkata kepada Sherly:
“Sherly, ini burung kertasku yang ke 1001. Dalam burung kertas ini aku mengharapkan adanya kejujuran dan keterbukaan antara aku dan kamu. Aku akan segera melamarmu dan kita akan segera menikah. Semoga kita dapat mencintai sampai kita menjadi kakek nenek dan sampai Tuhan memanggil kita berdua ! “
Saat mendengar Andre berkata demikian, menangislah Sherly. Ia berkata kepada Andre:
“Ndre, senang sekali aku mendengar semua itu, tetapi aku sekarang telah memutuskan untuk tidak menikah denganmu karena aku butuh uang dan kekayaan seperti kata orang tuaku!”
Saat mendengar itu Andre pun bak disambar geledek. Ia kemudian mulai marah kepada Sherly. Ia mengatai Sherly matre, orang tak berperasaan, kejam, dan sebagainya. Dan Akhirnya Andre meninggalkan Sherly menangis seorang diri.
Andre mulai terbakar semangatnya. Ia pun bertekad dalam dirinya bahwa ia harus sukses dan hidup berhasil. Sikap Sherly dijadikannya cambuk untuk maju dan maju. Dalam Sebulan usaha Andre menunjukkan hasilnya. Ia diangkat menjadi kepala cabang di mana ia bekerja dan dalam setahun ia telah diangkat menjadi manajer sebuah perusahaan yang bonafide dan tak lama kemudian ia mempunyai 50% saham dari perusahaan itu. Sekarang tak seorangpun tak kenal Andre, ia adalah bintang kesuksesan.
Suatu hari Andre pun berkeliling kota dengan mobil barunya. Tiba-tiba dilihatnya sepasang suami-istri tua tengah berjalan di dalam derasnya hujan. Suami istri itu kelihatan lusuh dan tidak terawat. Andre pun penasaran dan mendekati suami istri itu dengan mobilnya dan ia mendapati bahwa suami istri itu adalah orang tua Sherly.
Andre mulai berpikir untuk memberi pelajaran kepada kedua orang itu, tetapi hati nuraninya melarangnya sangat kuat. Andre membatalkan niatnya dan ia membuntuti kemana perginya orang tua Sherly.
Andre sangat terkejut ketika didapati orang tua Sherly memasuki sebuah makam yang dipenuhi dengan burung kertas. Ia pun semakin terkejut ketika ia mendapati foto Sherly dalam makam itu. Andre pun bergegas turun dari mobilnya dan berlari ke arah makam Sherly untuk menemui orang tua Sherly.
Orang tua Sherly pun berkata kepada Andre:
”Ndre, sekarang kami jatuh miskin. Harta kami habis untuk biaya pengobatan Sherly yang terkena kanker rahim ganas. Sherly menitipkan sebuah surat kepada kami untuk diberikan kepadamu jika kami bertemu denganmu.”
Orang tua Sherly menyerahkan sepucuk surat kumal kepada Andre.
Andre membaca surat itu.
“Ndre, maafkan aku. Aku terpaksa membohongimu. Aku terkena kanker rahim ganas yang tak mungkin disembuhkan. Aku tak mungkin mengatakan hal ini saat itu, karena jika itu aku lakukan, aku akan membuatmu jatuh dalam kehidupan sentimentil yang penuh keputus-asaan yang akan membawa hidupmu pada kehancuran. Aku tahu semua tabiatmu Ndre, karena itu aku lakukan ini. Aku mencintaimu Ndree……….. “
Setelah membaca surat itu, menangislah Andre. Ia telah berprasangka terhadap Sherly begitu kejamnya. Ia pun mulai merasakan betapa hati Sherly teriris-iris ketika ia mencemoohnya, mengatainya matre, kejam dan tak berperasaan. Ia merasakan betapa Sherly kesepian seorang diri dalam kesakitannya hingga maut menjemputnya, betapa Sherly mengharapkan kehadirannya di saat-saat penuh penderitaan itu. Tetapi ia lebih memilih untuk menganggap Sherly sebagai orang matre tak berperasan. Sherly telah berkorban untuknya agar ia tidak jatuh dalam keputusasaan dan kehancuran.

Rabu, 30 Mei 2012

TANGISAN PERTAMA MEMBAWA CAHAYA




Cerpen Rudi Al-Farisi


Malam yang dingin itu, lutfi masih saja asyik dengan kebiasaan lamanya. Mabuk mabukan, judi dengan ditemani wanita seksi, sudah biasa dalam kehidupannya. Disaat semua orang terlena dengan mimpi mimpi tidurnya, ia malah makin nikmat dengan permainan maksiat nya.


Tiba tiba hp nya berdering tanda sms masuk.
Sebentar kawan…ucap lutfi.
Segera pulang,
istrimu sedang dirumah sakit,
ia akan melahirkan.


Spontan ia terkejut. Lalu bergegas menghidupkan sepeda motornya. Sampai dirumah sakit. Mertuanya langsung menyemprot nya dengan bumbu bumbu ceramah. Ia tak ambil pusing, segera saja ia bertanya kepada dokter tentang keadaan istrinya.


Lutfi memang termasuk bandit. Semua orang mengetahuinya. Tetapi ia tidak bisa menghilangkan rasa cintanya pada sang istri yang begitu sabar menghadapi sifat bejatnya.


Pernah suatu ketika, ia tertangkap oleh polisi dan dipenjara beberapa bulan. Hanya istrinya yang selalu setia menjenguk dan membawakan makanan ke penjara. Guna menjaga gizi sang suami tercinta. Itu terjadi pada saat bulan kedua pernikahannya.


Dok. Gimana kondisi istriku…” Tanya lutfi pada dokter.
Tenang pak.. istri bapak besok akan segera kita operasi. Air ketubannya sudah kering. Sekarang kita bantu dengan infus, kita akan persiapkan semuanya. Tolong pak, diurus administrasinya”. Jelas dokter.


Baik pak.. saya minta tolong pak, berikan yang terbaik untuk istri saya..”.


Melihat suasana itu, mertuanya terlihat luluh, memang lutfi dikenal masyarakat sebagai pemuda yang brandal, mungkin karena umurnya yang masih muda, tetapi didalam relung hatinya, ia sangat mencintai istrinya.
* * * * 


Didepan kamar operasi, keluarga dan tetangga dekat telah menunggu apa yang akan terjadi. Tiba tiba pintu ruang operasi terbuka, setelah dua jam mereka menunggu.
Siapa ayahnya,,” suara perawat memecah kerisauan.
Saya mbak..” jawab lutfi spontan.
Selamat pak,,,” anak bapak laki laki.. ucap suster.
ALHAMDULILLAHHHH”. Teriak serentak diruangan itu.
“ Istri saya gimana mbak…
“ Tenang pak,,lagi dalam pemulihan, ia tak apa apa. Masih dalam efek bius. Lebih baik bapak ikut saya keruang incubator, biar sikecil langsung di azankan. Jelas mbak perawat.
Azan”..teriak halus bibirnya.


Seketika mendengar seruan untuk mengazankan anaknya. Sontak kaki lutfi kaku bagai tak ada refleks untuk bergerak. Ia diam membisu, bibirnya gemetar, ia bingung dengan apa yang terjadi. Keluarga yang melihat kejadian itu, tidak begitu kaget, karena lutfi dikenal sebagai sosok yang tak tahu soal agama.


Sholat aja tak pernah apalagi bacaannya”. Celetuk bibir usil salah satu keluarga.
“ Ba…baik mbak..” jawab lutfi terbata.


Di ruang incubator, lutfi mengumandangkan azan ditelinga kanan putranya. Ia memang tak pernah sholat, tapi ia sering mendengar suara azan berkumandang di mesjid dekat rumahnya. Ia masih ingat nada nada seruan sholat itu, walaupun tidak tau artinya tapi ia ingat betul urutannya.
“ ALLAHU AKBAR…ALLAHU AKBAR..”
“ LAAILAHAILLALLAHU..”


Keluarga yang sedang penasaran ingin melihat sang bayi, tepat didepan pintu ruang incubator terkejut, heran, kagum, haru, menyaksikan suasana itu. Bisa juga ya… anak itu azan”. Celetuk bibir ibu mertuanya.


Lutfi yang terdiam kaku melihat wajah bayi mungil itu, tak terasa matanya basah meneteskan air bening hingga membasahi pipinya, kakinya kaku bagai dipasung, badannya oleng tak seimbang hingga akhirnya ia roboh, membentuk posisi sujud kepada Rabb nya. Ia bingung dengan kondisi dirinya.
“ apa yang terjadi…lirih hatinya kebingungan.


Keluarganya diluar lebih kaget melihat lutfi dengan posisi sujud itu. Adik ipar yang hendak masuk untuk menolong abang iparnya itu dilarang pak mansyur tetangga lutfi yang ikut menjeguk.


Biarkan saja, hidayah ALLAH sedang berproses pada dirinya. Jawab pak mansyur, takmir mesjid dekat rumahnya.


Keluarga, tetangga dan para penjeguk dari teman temannya, haru terdiam melihat suasana itu. Malah ibu mertuanya menangis menyaksikan peristiwa itu.


Lutfi masih sujud, air matanya sudah menggenangi lantai ruangan itu. Sudah sepuluh menit ia dibiarkan begitu, tubuhnya yang masih lemas tiba tiba bangkit mendengar tangisan putranya, seakan putranya tahu kondisi ayahnya. Dan menangis memecah suasana. Tangisan itulah yang membawa cahaya bagi hidupnya.






CINTA LAKI-LAKI BIASA


Cerpen Asma Nadia

Menjelang hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia mau menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang, hari-hari yang dilalui, gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang; Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania. Mereka ternyata sama herannya.

Kenapa? Tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan.
Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati hari-hari sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi.Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.

Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yg barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya kata-kata!

Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara mendadak gagap.Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka.

Kamu pasti bercanda!
Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania bercanda.

Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang balita melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania!

Nania serius! tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang melamarnya.
Tidak ada yang lucu, suara Papa tegas, Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa yang paling cantik!

Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda baik. Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.

Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan? Mama mengambil inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa, maksud Mama siapa saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh?
Nania terkesima.
Kenapa?
Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik.
Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi. Suaramu bagus!
Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur.Bakatmu yang lain pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu mau!
Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa, kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata 'kenapa' yang barusan Nania lontarkan.
Nania Cuma mau Rafli, sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak.

Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah.

Tapi kenapa?
Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yg amat sangat biasa.
Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya.
Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania!
Cukup!
Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?

Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali karena Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli tampak 'luar biasa'. Nania Cuma punya idealisme berdasarkan perasaan yang telah menuntun Nania menapaki hidup hingga umur duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Di sampingnya Nania bahagia.
Mereka akhirnya menikah.
***

Setahun pernikahan.
Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka.

Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Nania. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia.

Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania.
Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan.
Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.
Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu! Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga pintar! Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan sukses!
Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli.
Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.
Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak!
Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan?
Rafli juga pintar!
Tidak sepintarmu, Nania.
Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan.
Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu.
Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.

Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk menghidupimu.

Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah dan sebentar lagi punya anak.

Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Nania dan Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup senang. Tak apa, kata lelaki itu, ketika Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri. Gaji Nania cukup, maksud Nania jika digabungkan dengan gaji Abang.

Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik..

Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya? Lalu dia mengelus pipi Nania dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran Nania cerah.
Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!

Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania. Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting.

Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu, dan Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu berada di puncak!

Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan Mama.
Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik.
Cantik ya? dan kaya!
Tak imbang!
Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Nania belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.

Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.

Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari waktunya.
Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera dikeluarkan!
Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke dalam rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil.

Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun yang datang.
Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali.

Baru pembukaan satu.
Belum ada perubahan, Bu.
Sudah bertambah sedikit, kata seorang suster empat jam kemudian menyemaikan harapan.
Sekarang pembukaan satu lebih sedikit. Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat suster terakhir yang memeriksa memiliki sense of humor yang tinggi.
Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah, didahului keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset.
Masih pembukaan dua, Pak!
Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya.
Bang?
Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan.
Dokter?
Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar.
Mungkin?
Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu?
Bagaimana jika terlambat?

Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karena Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.
Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan diri.

Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir.
Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat.
Pendarahan hebat!
Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah. Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah! Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis.
Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali. Saudara-saudara Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka.

Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti kanker.
Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.
Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah oleh membawanya pulang.

Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania dengan Rafli.

Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli bekerja mengerti dan memberikan izin penuh. Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan.

Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran kecil, dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU. Kadang perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra..

Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan kehadirannya.
Nania, bangun, Cinta?
Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan kening istrinya yang cantik.
Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik,
Nania, bangun, Cinta?
Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan. Asalkan Nania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya, senyum di bibir Nania, semua yang menjadi sumber semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli.

Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan ibunya. Di luar itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.

Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata, gerak bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang cantik. Nania sudah tidur terlalu lama.

Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah yang pertama ditangkap matanya.

Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang meleleh.

Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi.
Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun terakhir. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senja datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh cinta.
Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh?
Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.
Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun.

Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat.

Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik.
Baik banget suaminya!
Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!
Nania beruntung!
Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya.
Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!
Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama.
Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin frustrasi, merasa tak berani, merasa?
Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?
Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka.. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan.

Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua, anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut takdir dari tangannya.

Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untuk Nania.
Seperti yg diceritakan oleh seorang sahabat.


DMCA Protection on: http://www.lokerseni.web.id/2011/11/cerpen-cinta-bukan-laki-laki-biasa.html#ixzz1wKz3NpzD

Kasih Sepanjang Jalan


Di stasiun kereta api bawah tanah Tokyo, aku merapatkan mantel wol tebalku erat-erat. Pukul 5 pagi. Musim dingin yang hebat. Udara terasa beku mengigit. Januari ini memang terasa lebih dingin dari tahun-tahun sebelumnya. Di luar salju masih turun dengan lebat sejak kemarin. Tokyo tahun ini terselimuti salju tebal, memutihkan segenap pemandangan.

Stasiun yang selalu ramai ini agak sepi karena hari masih pagi. Ada seorang kakek tua di ujung kursi, melenggut menahan kantuk. Aku melangkah perlahan ke arah mesin minuman. Sesaat setelah sekeping uang logam aku masukkan, sekaleng capucino hangat berpindah ke tanganku. Kopi itu sejenak menghangatkan tubuhku, tapi tak lama karena ketika tanganku menyentuh kartu pos di saku mantel, kembali aku berdebar.

Tiga hari yang lalu kartu pos ini tiba di apartemenku. Tidak banyak beritanya, hanya sebuah pesan singkat yang dikirim adikku, "Ibu sakit keras dan ingin sekali bertemu kakak. Kalau kakak tidak ingin menyesal, pulanglah meski sebentar, kakc". Aku mengeluh perlahan membuang sesal yang bertumpuk di dada. Kartu pos ini dikirim Asih setelah beberapa kali ia menelponku tapi aku tak begitu menggubris ceritanya. Mungkin ia bosan, hingga akhirnya hanya kartu ini yang dikirimnya. Ah, waktu seperti bergerak lamban, aku ingin segera tiba di rumah, tiba-tiba rinduku pada ibu tak tertahan. Tuhan, beri aku waktu, aku tak ingin menyesalc

Sebenarnya aku sendiri masih tak punya waktu untuk pulang. Kesibukanku bekerja di sebuah perusahaan swasta di kawasan Yokohama, ditambah lagi mengurus dua puteri remajaku, membuat aku seperti tenggelam dalam kesibukan di negeri sakura ini. Inipun aku pulang setelah kemarin menyelesaikan sedikit urusan pekerjaan di Tokyo. Lagi-lagi urusan pekerjaan.

Sudah hampir dua puluh tahun aku menetap di Jepang. Tepatnya sejak aku menikah dengan Emura, pria Jepang yang aku kenal di Yogyakarta, kota kelahiranku. Pada saat itu Emura sendiri memang sedang di Yogya dalam rangka urusan kerjanya. Setahun setelah perkenalan itu, kami menikah.

Masih tergambar jelas dalam ingatanku wajah ibu yang menjadi murung ketika aku mengungkapkan rencana pernikahan itu. Ibu meragukan kebahagiaanku kelak menikah dengan pria asing ini. Karena tentu saja begitu banyak perbedaan budaya yang ada diantara kami, dan tentu saja ibu sedih karena aku harus berpisah dengan keluarga untuk mengikuti Emura. Saat itu aku berkeras dan tak terlalu menggubris kekhawatiran ibu.

Pada akhirnya memang benar kata ibu, tidak mudah menjadi istri orang asing. Di awal pernikahan begitu banyak pengorbanan yang harus aku keluarkan dalam rangka adaptasi, demi keutuhan rumah tangga. Hampir saja biduk rumah tangga tak bisa kami pertahankan. Ketika semua hampir karam, Ibu banyak membantu kami dengan nasehat-nasehatnya. Akhirnya kami memang bisa sejalan. Emura juga pada dasarnya baik dan penyayang, tidak banyak tuntutan.

Namun ada satu kecemasan ibu yang tak terelakkan, perpisahan. Sejak menikah aku mengikuti Emura ke negaranya. Aku sendiri memang sangat kesepian diawal masa jauh dari keluarga, terutama ibu, tapi kesibukan mengurus rumah tangga mengalihkan perasaanku. Ketika anak-anak beranjak remaja, aku juga mulai bekerja untuk membunuh waktu.

Aku tersentak ketika mendengar pemberitahuan kereta Narita Expres yang aku tunggu akan segera tiba. Waktu seperti terus memburu, sementara dingin semakin membuatku menggigil. Sesaat setelah melompat ke dalam kereta aku bernafas lega. Udara hangat dalam kereta mencairkan sedikit kedinginanku. Tidak semua kursi terisi di kereta ini dan hampir semua penumpang terlihat tidur. Setelah menemukan nomor kursi dan melonggarkan ikatan syal tebal yang melilit di leher, aku merebahkan tubuh yang penat dan berharap bisa tidur sejenak seperti mereka. Tapi ternyata tidak, kenangan masa lalu yang terputus tadi mendadak kembali berputar dalam ingatanku.

Ibu..ya betapa kusadari kini sudah hampir empat tahun aku tak bertemu dengannya. Di tengah kesibukan, waktu terasa cepat sekali berputar. Terakhir ketika aku pulang menemani puteriku, Rikako dan Yuka, liburan musim panas. Hanya dua minggu di sana, itupun aku masih disibukkan dengan urusan kantor yang cabangnya ada di Jakarta. Selama ini aku pikir ibu cukup bahagia dengan uang kiriman ku yang teratur setiap bulan. Selama ini aku pikir materi cukup untuk menggantikan semuanya. Mendadak mataku terasa panas, ada perih yang menyesakkan dadaku. "Aku pulang bu, maafkan keteledoranku selama inic" bisikku perlahan.

Cahaya matahari pagi meremang. Kereta api yang melesat cepat seperti peluru ini masih terasa lamban untukku. Betapa masih jauh jarak yang terentang. Aku menatap ke luar. Salju yang masih saja turun menghalangi pandanganku. Tumpukan salju memutihkan segenap penjuru. Tiba-tiba aku teringat Yuka puteri sulungku yang duduk di bangku SMA kelas dua. Bisa dikatakan ia tak berbeda dengan remaja lainnya di Jepang ini. Meski tak terjerumus sepenuhnya pada kehidupan bebas remaja kota besar, tapi Yuka sangat ekspresif dan semaunya. Tak jarang kami berbeda pendapat tentang banyak hal, tentang norma-norma pergaulan atau bagaimana sopan santun terhadap orang tua.

Aku sering protes kalau Yuka pergi lama dengan teman-temannya tanpa idzin padaku atau papanya. Karena aku dibuat menderita dan gelisah tak karuan dibuatnya. Terus terang kehidupan remaja Jepang yang kian bebas membuatku khawatir sekali. Tapi menurut Yuka hal itu biasa, pamit atau selalu lapor padaku dimana dia berada, menurutnya membuat ia stres saja. Ia ingin aku mempercayainya dan memberikan kebebasan padanya. Menurutnya ia akan menjaga diri dengan sebaik-baiknya. Untuk menghindari pertengkaran semakin hebat, aku mengalah meski akhirnya sering memendam gelisah.

Riko juga begitu, sering ia tak menggubris nasehatku, asyik dengan urusan sekolah dan teman-temannya. Papanya tak banyak komentar. Dia sempat bilang mungkin itu karena kesalahanku juga yang kurang menyediakan waktu buat mereka karena kesibukan bekerja. Mereka jadi seperti tidak membutuhkan mamanya. Tapi aku berdalih justru aku bekerja karena sepi di rumah akibat anak-anak yang berangkat dewasa dan jarang di rumah. Dulupun aku bekerja ketika si bungsu Riko telah menamatkan SD nya. Namun memang dalam hati ku akui, aku kurang bisa membagi waktu antara kerja dan keluarga.

Melihat anak-anak yang cenderung semaunya, aku frustasi juga, tapi akhirnya aku alihkan dengan semakin menenggelamkan diri dalam kesibukan kerja. Aku jadi teringat masa remajaku. Betapa ku ingat kini, diantara ke lima anak ibu, hanya aku yang paling sering tidak mengikuti anjurannya. Aku menyesal. Sekarang aku bisa merasakan bagaimana perasaan ibu ketika aku mengabaikan kata-katanya, tentu sama dengan sedih yang aku rasakan ketika Yuka jatau Riko juga sering mengabaikanku. Sekarang aku menyadari dan menyesali semuanya. Tentu sikap kedua puteri ku adalah peringatan yang Allah berikan atas keteledoranku dimasa lalu. Aku ingin mencium tangan ibu....

Di luar salju semakin tebal, semakin aku tak bisa melihat pemandangan, semua menjadi kabur tersaput butiran salju yang putih. Juga semakin kabur oleh rinai air mataku. Tergambar lagi dalam benakku, saat setiap sore ibu mengingatkan kami kalau tidak pergi mengaji ke surau. Ibu sendiri sangat taat beribadah. Melihat ibu khusu' tahajud di tengah malam atau berkali-kali mengkhatamkan alqur'an adalah pemandangan biasa buatku. Ah..teringat ibu semakin tak tahan aku menanggung rindu. Entah sudah berapa kali kutengok arloji dipergelangan tangan.

Akhirnya setelah menyelesaikan semua urusan boarding-pass di bandara Narita, aku harus bersabar lagi di pesawat. Tujuh jam perjalanan bukan waktu yang sebentar buat yang sedang memburu waktu seperti aku. Senyum ibu seperti terus mengikutiku. Syukurlah, Window-seat, no smoking area, membuat aku sedikit bernafas lega, paling tidak untuk menutupi kegelisahanku pada penumpang lain dan untuk berdzikir menghapus sesak yang memenuhi dada. Melayang-layang di atas samudera fasifik sambil berdzikir memohon ampunan-Nya membuat aku sedikit tenang. Gumpalan awan putih di luar seperti gumpalan-gumpalan rindu pada ibu.

Yogya belum banyak berubah. Semuanya masih seperti dulu ketika terakhir aku meninggalkannya. Kembali ke Yogya seperti kembali ke masa lalu. Kota ini memendam semua kenanganku. Melewati jalan-jalan yang dulu selalu aku lalui, seperti menarikku ke masa-masa silam itu. Kota ini telah membesarkanku, maka tak terbilang banyaknya kenangan didalamnya. Terutama kenangan-kenangan manis bersama ibu yang selalu mewarnai semua hari-hariku. Teringat itu, semakin tak sabar aku untuk bertemu ibu.

Rumah berhalaman besar itu seperti tidak lapuk dimakan waktu, rasanya masih seperti ketika aku kecil dan berlari-lari diantara tanaman-tanaman itu, tentu karena selama ini ibu rajin merawatnya. Namun ada satu yang berubah, ibu...

Wajah ibu masih teduh dan bijak seperti dulu, meski usia telah senja tapi ibu tidak terlihat tua, hanya saja ibu terbaring lemah tidak berdaya, tidak sesegar biasanya. Aku berlutut disisi pembaringannya, "Ibu...Rini datang, bu..", gemetar bibirku memanggilnya. Ku raih tangan ibu perlahan dan mendekapnya didadaku. Ketika kucium tangannya, butiran air mataku membasahinya. Perlahan mata ibu terbuka dan senyum ibu, senyum yang aku rindu itu, mengukir di wajahnya. Setelah itu entah berapa lama kami berpelukan melepas rindu. Ibu mengusap rambutku, pipinya basah oleh air mata. Dari matanya aku tahu ibu juga menyimpan derita yang sama, rindu pada anaknya yang telah sekian lama tidak berjumpa. "Maafkan Rini, Bu.." ucapku berkali-kali, betapa kini aku menyadari semua kekeliruanku selama ini.